Jejak Sungkeman di Era Konten Viral: Merayakan Hari Raya Idul Fitri 2025 Penuh Makna ala Siswa SMK Cokroaminoto Pandak
Gema Takbir Usai, Makna Tinggal di Hati
Gema takbir Hari Raya Idul Fitri 2025 / 1446 Hijriah baru saja mereda beberapa pekan lalu, sekitar akhir Maret 2025. Harum opor ayam dan legitnya ketupat mungkin sudah jadi kenangan, tapi esensi Lebaran – momen kemenangan spiritual, saling memaafkan, dan mempererat silaturahmi – masih hangat terasa. Di tengah riuhnya perayaan dan libur panjang yang dinanti, ada sebuah potret menarik dari sudut Bantul, Yogyakarta, tepatnya di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Cokroaminoto Pandak. Di sini, perayaan Idul Fitri bukan hanya soal libur atau baju baru, tapi juga tentang menjaga sebuah tradisi luhur yang kaya makna: sungkeman.
SMK Cokroaminoto Pandak, sebuah institusi pendidikan kejuruan yang berdiri di tengah masyarakat agraris namun tak luput dari derasnya arus globalisasi, menjadi panggung unik di mana nilai-nilai tradisi bertemu langsung dengan realitas generasi Z yang akrab dengan tren digital terbaru. Artikel ini akan mencoba mengupas bagaimana siswa-siswi sekolah ini, para digital native yang mungkin pagi harinya sibuk membuat konten TikTok Lebaran atau membalas ucapan via chat yang dibantu AI, pada momen yang sama juga khidmat menundukkan kepala dalam prosesi sungkeman kepada para guru, tenaga kependidikan (tendik), dan karyawan sekolah. Bagaimana sekolah ini menjembatani keduanya? Dan apa makna terdalam dari menjaga tradisi ini di tahun 2025, sebuah era yang sering disebut sebagai era disrupsi?
Lebaran 2025: Lebih dari Sekadar Tanggal Merah di Kalender
Idul Fitri, bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di lingkungan SMK Cokroaminoto Pandak, adalah puncak dari ibadah di bulan Ramadan. Sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, ditutup dengan hari kemenangan. Ini adalah momen spiritual yang mendalam, waktu untuk introspeksi dan kembali fitri – suci seperti bayi yang baru lahir. Di sekolah, suasana ini biasanya sudah mulai terasa bahkan sebelum libur tiba. Mungkin ada kegiatan pesantren kilat, buka puasa bersama, atau pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah yang dikoordinir oleh OSIS atau Rohis sekolah. Semua ini membangun atmosfer kebersamaan dan kepedulian.
Saat libur tiba, siswa menyebar ke rumah masing-masing, merayakan bersama keluarga. Namun, semangat kebersamaan sekolah tak lantas hilang. Grup WhatsApp kelas atau sekolah mungkin ramai dengan ucapan selamat, berbagi foto keluarga, atau sekadar bertukar kabar. Nah, ketika masa libur usai dan siswa kembali ke bangku sekolah, energi positif Lebaran ini dibawa kembali. Dan salah satu manifestasi paling nyata dari semangat saling memaafkan dan menghormati inilah yang terwujud dalam tradisi sungkeman. Ini bukan sekadar formalitas masuk sekolah, tapi sebuah kelanjutan dari prosesi maaf-memaafkan yang dimulai di lingkungan keluarga.
Sungkeman: Tradisi Kaya Filosofi, Jantung Penghormatan di Tanah Jawa (dan Cokro Pandak!)
Bagi yang belum familiar, sungkeman itu apa sih? Secara harfiah, sungkem berasal dari bahasa Jawa yang artinya bersujud atau membungkuk sebagai tanda hormat dan bakti. Praktiknya bisa sedikit bervariasi, tapi intinya sama: orang yang lebih muda (dalam konteks ini, siswa) akan berjongkok atau sedikit membungkuk di hadapan orang yang lebih tua atau dihormati (guru, tendik, karyawan), lalu mencium tangan (salim) atau kadang lutut orang tersebut, seraya mengucapkan permohonan maaf lahir dan batin.
Ini bukan sekadar gestur fisik. Di baliknya ada filosofi mendalam yang berakar kuat dalam budaya Jawa dan nilai-nilai Islam:
- Kerendahan Hati (Andhap Asor): Gerakan menunduk melambangkan pengakuan bahwa diri ini tidak sempurna, penuh khilaf, dan membutuhkan maaf dari orang lain, terutama yang lebih tua atau berjasa dalam hidup (seperti guru).
- Penghormatan (Ngajeni): Mengakui posisi dan jasa guru serta staf sekolah yang telah mendidik, membimbing, dan melayani. Dalam budaya Jawa, guru sering dianggap sebagai “orang tua kedua” di sekolah.
- Permohonan Maaf Tulus: Ucapan maaf yang disampaikan bukan sekadar basa-basi, tapi ungkapan penyesalan atas kesalahan yang mungkin disengaja maupun tidak selama berinteraksi setahun ke belakang.
- Memutus Dendam, Membuka Lembaran Baru: Sungkeman menjadi simbol rekonsiliasi, membersihkan hati dari ganjalan, dan memulai kembali hubungan dengan niat yang baik.
Di SMK Cokroaminoto Pandak, tradisi ini biasanya dilaksanakan pada hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang Idul Fitri. Pemandangannya seringkali mengharukan. Bayangkan, barisan siswa yang rapi, satu per satu maju menghampiri jajaran guru dan staf yang sudah menunggu. Ada suasana khidmat, hening sejenak saat siswa mengucapkan permohonan maaf, kadang diiringi isak tangis haru, baik dari siswa maupun guru yang menerima sungkem. Momen ini menjadi pelajaran karakter yang sangat efektif, jauh lebih membekas daripada sekadar teori di kelas tentang sopan santun. Ini adalah praktik langsung dari nilai-nilai luhur.
Generasi Z Cokro Pandak: Kreatif, Terkoneksi, dan Akrab dengan Tren 2025
Sekarang, mari kita lihat sisi lain dari koin ini: para siswa SMK Cokroaminoto Pandak itu sendiri. Mereka adalah bagian dari Generasi Z, generasi yang lahir dan besar di era digital. Smartphone adalah perpanjangan tangan mereka, media sosial adalah alun-alun tempat mereka berkumpul dan berekspresi, dan tren global bisa sampai ke genggaman mereka dalam hitungan detik.
Apa saja sih tren yang mewarnai kehidupan mereka, terutama di sekitar momen Lebaran 2025 kemarin?
- Serba Konten: Lebaran adalah ‘prime time’ untuk membuat konten. Mulai dari video sinematik ala “mudik estetik”, kompilasi momen kebersamaan keluarga dengan backsound viral, pamer OOTD Lebaran terbaik dengan tagar #SpillOutfitLebaran, hingga mungkin konten lucu-lucuan seputar THR (Tunjangan Hari Raya). Platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts jadi kanvas kreativitas mereka.
- Komunikasi Digital Instan: Ucapan selamat Lebaran tak lagi melulu lewat kartu fisik atau SMS. Kini eranya stiker WhatsApp unik, broadcast message (kadang hasil copy-paste), mention di Instagram Story, atau bahkan ucapan via DM (Direct Message). Beberapa mungkin sudah mulai ‘cerdas’ dengan meminta bantuan AI seperti ChatGPT atau Gemini untuk merangkai kata-kata maaf yang puitis dan personal (atau setidaknya terdengar begitu).
- AI Makin Merasuk: Selain untuk ucapan, AI mungkin juga dipakai untuk mencari ide kegiatan liburan, resep masakan Lebaran, atau bahkan (jangan ditiru ya!) membantu mengerjakan tugas yang diberikan sebelum libur. Kesadaran akan kemampuan AI semakin tinggi di kalangan pelajar.
- Gaya Hidup & Konsumsi: Tren “healing” atau mencari ketenangan diri mungkin juga mempengaruhi cara mereka mengisi liburan, entah itu jalan-jalan ke tempat wisata alam di sekitar Bantul atau sekadar staycation sederhana. Kesadaran akan merek (lokal maupun global) dalam memilih baju Lebaran juga bisa jadi bagian dari tren ini. Mungkin juga mulai ada obrolan soal Lebaran yang lebih ramah lingkungan (eco-friendly).
- FOMO (Fear of Missing Out): Keinginan untuk selalu terhubung dan tidak ketinggalan tren terbaru sangat kuat. Apa yang sedang viral, filter apa yang lagi hits, tantangan (challenge) apa yang sedang ramai, semua ingin diikuti agar tetap relevan di lingkaran pertemanan mereka.
Ini adalah realitas kehidupan siswa SMK Cokroaminoto Pandak di tahun 2025. Mereka hidup di dua dunia: dunia nyata dengan tradisi seperti sungkeman, dan dunia maya yang penuh dengan dinamika tren.
Menjembatani Jurang: Harmoni Antara Sungkeman Sakral dan Tren Digital di Cokro Pandak
Nah, pertanyaan besarnya: bagaimana kedua dunia ini bisa berjalan beriringan tanpa saling meniadakan di SMK Cokroaminoto Pandak? Apakah tradisi sungkeman terasa ‘kuno’ atau ‘ribet’ bagi generasi yang terbiasa dengan kecepatan dan kepraktisan digital?
Tantangan pasti ada. Mungkin ada siswa yang merasa sungkeman hanya formalitas, melakukannya karena ‘diwajibkan’ sekolah. Mungkin juga godaan untuk lebih fokus pada dokumentasi (membuat story IG saat antre sungkem, misalnya) kadang mengalahkan kekhusyukan momen itu sendiri. Di sisi lain, derasnya arus informasi dan tren bisa jadi mengikis pemahaman akan makna filosofis di balik tradisi.
Namun, tampaknya SMK Cokroaminoto Pandak berhasil menemukan formula harmoninya. Beberapa kunci keberhasilan yang bisa kita amati atau simpulkan:
- Komitmen Kuat dari Sekolah: Pihak sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, hingga staf, secara konsisten menunjukkan bahwa tradisi sungkeman ini penting dan berharga. Ini bukan sekadar acara sampingan, tapi bagian integral dari pendidikan karakter. Penjelasan tentang makna dan tata cara sungkeman mungkin selalu disampaikan sebelum pelaksanaan.
- Guru sebagai Teladan (Role Model): Sikap para guru saat menerima sungkem – penuh kehangatan, memaafkan dengan tulus, bahkan ikut terharu – memberikan contoh nyata bagi siswa tentang bagaimana seharusnya hubungan antara murid dan pendidik dijalin.
- Integrasi, Bukan Konfrontasi: Sekolah tidak melarang siswa mengikuti tren digital, tapi membimbing mereka untuk bijak. Pesannya mungkin: “Silakan berkreasi di media sosial, tapi jangan lupakan adab di dunia nyata. Gunakan teknologi untuk hal positif, tapi ingatlah nilai interaksi langsung.”
- Pemaknaan Ulang yang Relevan: Mungkin ada upaya untuk menjelaskan relevansi sungkeman dengan bahasa yang lebih mudah dipahami Gen Z. Misalnya, menghubungkan nilai kerendahan hati dalam sungkeman dengan pentingnya sikap rendah hati saat berkolaborasi dalam proyek kelompok, atau pentingnya meminta maaf secara tulus dalam menjaga pertemanan di era digital yang rentan miskomunikasi.
- Pengalaman Langsung yang Berkesan: Momen sungkeman itu sendiri, jika dilaksanakan dengan baik, akan meninggalkan kesan mendalam. Rasa lega setelah meminta maaf, kehangatan pelukan atau tepukan bahu dari guru, suasana khidmat bersama teman-teman – ini adalah pengalaman emosional yang tidak bisa didapatkan dari interaksi virtual. Pengalaman inilah yang membuat tradisi ini tetap hidup dan dihargai.
- Kekuatan Komunitas: Melihat teman-teman sebayanya juga melakukan sungkeman dengan tulus menciptakan social proof dan rasa kebersamaan. “Oh, ternyata teman-temanku juga menghargai ini, berarti ini memang penting.”
Jadi, siswa SMK Cokroaminoto Pandak sepertinya cukup piawai dalam ‘beralih mode’. Mereka bisa saja beberapa menit sebelumnya asyik scroll TikTok atau update status, tapi begitu tiba giliran sungkem, mereka bisa langsung beralih ke mode khidmat dan penuh hormat. Ini menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang baik, sekaligus penghargaan terhadap konteks yang berbeda. Mereka bisa menjadi ‘anak zaman now’ tanpa harus tercerabut dari akar budayanya.
Dampak Jangka Panjang: Membekali Siswa dengan Karakter Unggul dan Akar Budaya
Upaya SMK Cokroaminoto Pandak dalam menjaga harmoni antara tradisi sungkeman dan dinamika tren digital ini memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Ini bukan sekadar tentang perayaan Lebaran, tapi tentang pembentukan karakter siswa secara keseluruhan.
- Penguatan Kecerdasan Emosional & Sosial: Sungkeman melatih empati (memahami perasaan orang lain), kemampuan meminta maaf (mengakui kesalahan), dan membangun hubungan sosial yang sehat berdasarkan rasa hormat. Ini adalah soft skills krusial yang seringkali lebih penting daripada sekadar nilai akademis di dunia kerja nanti.
- Menanamkan Nilai Luhur: Di tengah gempuran budaya global yang instan dan kadang materialistis, tradisi seperti sungkeman menanamkan kembali nilai-nilai fundamental seperti kerendahan hati, kesopanan, dan pentingnya hubungan antarmanusia yang tulus.
- Menciptakan Identitas yang Kuat: Dengan memahami dan mempraktikkan tradisi budayanya, siswa memiliki akar identitas yang kuat. Mereka tahu siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal, yang penting untuk navigasi di dunia global yang kompleks.
- Menghasilkan Lulusan Holistik: Lulusan SMK tidak hanya diharapkan kompeten secara teknis sesuai jurusannya, tapi juga memiliki karakter yang baik, berbudaya, dan mampu beradaptasi. Perpaduan antara penguasaan kejuruan, literasi digital (melek tren), dan pemahaman nilai tradisi seperti yang terlihat di Cokro Pandak adalah bekal yang sangat komplit.
Cokro Pandak, Miniatur Harmoni Tradisi dan Modernitas
Momen Idul Fitri 2025 di SMK Cokroaminoto Pandak, dengan tradisi sungkeman yang tetap lestari di tengah kepungan tren digital, memberikan pelajaran berharga. Sekolah ini menjadi semacam miniatur bagaimana Indonesia bisa (dan seharusnya) bergerak maju: mengadopsi kemajuan teknologi dan dinamika global, tanpa harus kehilangan jati diri dan kearifan lokal yang membuatnya unik.
Para siswa SMK Cokroaminoto Pandak, dengan segala kreativitas dan keakraban mereka pada dunia digital, menunjukkan bahwa menjadi modern tidak berarti harus meninggalkan tradisi. Justru, kemampuan untuk menghargai masa lalu sambil merangkul masa depan adalah kunci kebijaksanaan. Sungkeman mungkin hanya satu tradisi kecil dalam perayaan besar Idul Fitri, tapi di dalamnya terkandung pelajaran besar tentang adab, penghormatan, dan kemanusiaan – nilai-nilai yang akan selalu relevan, tak peduli seheboh apa pun tren yang datang dan pergi. Salut untuk SMK Cokroaminoto Pandak yang terus menjaga nyala api tradisi ini tetap terang!